

Street Dance 2 menceritakan tentang usaha Ash (Falk Hentschel) dan Eddie (George Sampson) dalam mengumpulkan para penari andal Eropa untuk membentuk sebuah tim street dance. Tim tersebut sengaja dibentuk untuk berkompetisi dan mengalahkan Invincible, juara bertahan kompetisi street dance di Paris. Dalam petualangan tersebut, Eddie memiliki ide untuk menggabungkan gaya street dance dengan tarian latin. Ia dan Ash pun bertemu dengan seorang penari salsa bernama Eva (Sofia Boutella).
Sesuai namanya, tarian menjadi fokus utama Street Dance 2. Gerakan-gerakan memukau ditampilkan para pemeran secara individu maupun dalam kelompok dengan sinkronisasi gerakan yang mampu membuat penonton tercengang. Iringan lagu hip hop dan dance, diramaikan dengan sedikit bumbu musik latino yang mengajak penonton untuk ikut bergerak (not recommended, karena bisa membuat penonton lainnya terganggu dan berpotensi mempermalukan diri Anda sendiri).

Kombinasi antara gerakan tarian penuh energi dan musik-musik dengan beat yang kencang hadir dalam kemasan sinematografi yang andal. Setiap adegan ditampilkan dengan apik dan acap kali memperlihatkan keindahan kota-kota di Eropa sebagai latar belakang. Sayangnya, nilai positif dari Street Dance 2 hanya sampai di sini.
Not for everyone

Terlalu muluk rasanya untuk masuk ke dalam gedung bioskop, membeli tiket film dengan judul seperti Street Dance 2, dan berharap akan mendapat suguhan kisah drama dengan plot cerita yang di luar dugaan. Kenyataannya, film serupa seringkali (tidak selalu) menggunakan garis besar plot yang sama: berawal dari kegagalan, beranjak ke kegigihan dalam berlatih, hingga mencapai keberhasilan dengan sedikit bumbu romansa dengan mitra dansanya. Dalam Street Dance 2, garis besar plot tersebut pun tidak mengalami banyak perubahan maupun pengembangan. Hasilnya, tidak ada fondasi cerita yang cukup kuat untuk membuat film ini menarik dan dapat dinikmati oleh para penonton yang mencari unsur drama yang kental.

Plot cerita yang mudah ditebak, disandingkan dengan gaya narasi yang buruk, level acting yang standar, dan potongan-potongan dialog singkat, ditimpa dengan dosis tarian dan musik yang tidak seimbang. Racikan tersebut membuat Street Dance 2 lebih terasa seperti kompilasi video musik dibanding sebuah film layar lebar. Sempat terbersit di benak saya bahwa lebih baik menonton adegan-adegan serupa di YouTube dibanding membayar sejumlah uang untuk menikmatinya di bioskop. Namun, kombinasi antara nuansa musik yang menyenangkan dan sinematografi yang indah menghasilkan pengalaman menonton yang cukup memuaskan.


Street Dance 2 merupakan tipe film yang hanya dapat memuaskan sebagian penonton, terutama mereka yang memang menggeluti atau menjadi pemerhati budaya menari, khususnya tarian jalanan yang selalu memunculkan gerakan-gerakan baru melalui kebiasaan improvisasi praktisinya. Begitu pula dengan para penonton yang memiliki kedekatan dan ketertarikan terhadap budaya musik hip hop. Namun, bagi para penonton yang mencari sisi drama dan plot cerita yang mampu “mengkhianati” tebakan mereka, silakan mencari film lain (well, duh).
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !